Jika orang bertanya, “siapa polisi yang paling hebat?”, jawabannya pasti Jenderal Hoegeng. Jika ditanya, siapa Jaksa paling tegas? Jawabannya mungkin adalah Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Dan jika ditanya, siapa hakim terbaik? Banyak orang akan menjawabnya, “Hakim Agung Artidjo Alkostar”.

Tapi tahukah pembaca, hakim agung Artidjo ini sebenarnya tidak lahir dari hakim karier. Maksudnya, beliau tidak berangkat dari hakim di peradilan tingkat pertama, kemudian naik jabatan menjadi hakim tinggi, kemudian naik lagi menjadi hakim agung. Ternyata hakim agung Artidjo ini berasal dari kalangan non-karier.

Latar belakang beliau sebetulnya adalah pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Beliau selalu menyebutnya sebagai pengacara jalanan. Karena memang kasus-kasus yang ditangani menyangkut kepentingan orang kecil yang tidak diupah dengan biaya besar. Namun kadangkala beliau menangani kasus yang sangat sensitif hingga nyawanya terancam.

Selain sebagai pengacara, beliau ini adalah seorang dosen dan guru besar di Universitas Islam Indonesia (UII). Sebagai seorang dosen dan guru besar, tentu saja keilmuan teoretik beliau sangat kuat dalam kajian ilmu hukum, utamanya hukum progresif.

Kembali ke pertanyaan pada judul, “mengapa hakim agung yang dikenal publik itu—maksudnya adalah Prof. Artidjo—berasal dari kalangan non-karier?”

Saya memiliki beberapa pendapat, mengapa dari banyaknya hakim agung, hanya Artidjo yang  menjadi sinar ditengah-tengah masyarakat. Pendapat ini tentu sangat subjektif, sehingga bukanlah pendapat yang bisa diuji dalam kerangka akademik.

  1. Menurut saya, hakim agung non-karier seperti Artidjo ini tidak memiliki keterikatan dengan atasan dalam institusi. Itu artinya, integritasnya sangat kuat dan tidak bisa didikte oleh pimpinan diatasnya.
  2. Latar belakang Artidjo yang merupakan pengacara, cukup memberikan andil melihat lembaga peradilan dalam perspektif pengacara. Saya meyakini, hati nurani Artidjo sering mengeluh terhadap beberapa putusan hakim yang cenderung memberikan putusan ringan bagi kasus-kasus yang menjadi atensi masyarakat. Putusan itu mungkin memiliki dasar hukum yang kuat, namun sebagai seorang pengacara, hakim seharusnya bisa melihat perspektif lain yang lebih luas sehingga hukumannya bisa lebih berat. Itu yang disampaikan Artidjo saat diwawancarai Najwa Shihab. Bahwa perspektif yang dia gunakan untuk memperberat sanksi pidana pada beberapa terdakwa tidak merujuk pada pasal yang digunakan oleh kebanyakan hakim ditingkat pertama dan tingkat banding.
  3. Luasnya perspektif ini tentu juga dilatarbelakangi background akademik beliau yang merupakan seorang dosen dan guru besar. Sebagai seseorang yang memiliki nalar teori yang kuat, Artidjo tidak pernah takut untuk berbeda dengan keebanyakan hakim pada umumnya. Bukan karena hanya ingin tampil beda, namun ia memiliki dasar teori yang kuat bahwa cara pandang dan gagasannya tidak bertentangan dengan hukum. Bagi Artidjo, UU bukanlah corong utama dalam menentukan putusan. Ada banyak faktor yang bisa digali oleh setiap hakim.

Perpaduan latar belakang pengacara dan dosen inilah yang menurut saya membentuk pola berpikir yang progresif saat beliau menjadi hakim agung di Mahkamah Agung. Beliau sering melakukan dissenting opinion, bahkan beliau mulai menerapkan dissenting opinion saat hukum Indonesia belum mengaturnya sama sekali. Beliau berani untuk berbeda pendapat dengan hakim-hakim lainnya dan memuat perbedaan pendapat itu dalam isi putusan, walaupun tradisinya tidak pernah terjadi. Mengapa beliau berani berbeda? Karena beliau memiliki fondasi teoretik yang kuat.

Banyaknya background sebelum beliau menjadi hakim agung juga menjadi modal utama mengapa cara pandang beliau dalam beberapa kasus sering berbeda dengan kebanyakan hakim, utamanya hakim-hakim karier. Hakim karier yang sudah mengabdi dari peradilan tingkat pertama, akan terus mempertahankan argumentasi yang selaras setiap zamannya, dan sulit untuk keluar dari dogma. Namun hakim non-karier seperti Artidjo ini, dalam benak dan paradigmanya tidak pernah terdikte oleh pendapat mayoritas di internal institusi, sehingga apa yang keluar dari mulutnya merupakan manifestasi dari pendidikan akademik dan pengalaman jalanan-nya.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~