A. Definisi Kejahatan

Istilah kejahatan lebih tepat jika kita analisis dari pendekatan kriminologi. Penulis memilih pendekatan ini karena ada suatu hubungan yang erat antara kejahatan atau kriminalitas dengan ilmu kriminologi. Nama kriminologi ditemukan oleh Paul Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Secara harfiah berasal dari kata crime yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, kriminologi dapat berarti ilmu kejahatan atau penjahat.[1] Menurut Moeljatno kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan buruk dan tentang orangnya yang tersangkut pada  kejahatan dan kelakuan buruk itu.[2] Kejahatan yang dimaksud pula termasuk pelangggaran, artinya perbuatan menurut Undang-undang diancam dengan pidana, dan kriminalitas meliputi kejahatan dan kelakuan buruk.[3]

Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak lahir, warisan) juga bukan merupakan warisan biologis.[4] Tindak kejahatan bisa dilakukan siapapun baik wanita maupun pria dengan tingkat pendidikan yang berbeda.[5] Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara yuridis, kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undang-undang. Disini diperlukan suatu kepastian hukum, karena dengan ini orang akan tahu apa perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat.[6]

Definisi kejahatan menurut Kartono bahwa secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merupakan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.[7] Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang membuat perumusan.  Dilihat dari segi sosiologis, kejahatan merupakan salah satu jenis gejala sosial, yang berkenaan dengan individu atau masyarakat. Dalam rumusan Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan manusia, yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasakan merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan. Menurut B. Simandjuntak, kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.[8]

Istilah kejahatan atau tindak pidana dalam bahasa Belanda biasa menggunakan istilah strafbaar feit. Simons menerangkan strafbaar feit sebagai berikut: “Strafbaar feit adalah perbuatan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.[9] Lain lagi menurut H.G. Van Hamel pengertian tentang strafbaar feit, yaitu perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.[10] Selain itu, Pompe merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig of wederrechtelijk), yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van de overtreder te wijten) dan yang dapat dihukum (strafbaar).[11]

  1. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius merumuskan perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.[12] Jan Remmelink menyatakan bahwa tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.[13] E. Utrecht memakai istilah peristiwa pidana. Peristiwa pidana menurut E. Utrecht pengertiannya sebagai suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.[14]

Sedangkan menurut Moeljatno dikatakan, perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena ada kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan erat pula.[15]

Setidaknya ada sembilan premis perilaku jahat, yaitu:[16]

  1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari, bukan warisan.
  2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut dapat bersifat lisan atau dengan bahasa tubuh.
  3. Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam hubungan personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak berperanan penting dalam terjadinya kejahatan.
  4. Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk:
  5. teknik melakukan kejahatan;
  6. motif- motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu.
  7. Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukurn sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.
  8. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukurn sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi.
  9. Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.
  10. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh lewat hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara urnum.
  11. Sementara itu perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

 

B. Unsur Tindak Pidana (Kejahatan)

Pada hakekatnya tiap-tiap tindak pidana harus terdiri atas unsur-unsur yang lahir oleh karena perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, dan suatu kejadian dalam alam lahir. Menurut Moelyatno, unsur atau elemen perbuatan pidana adalah sebagai berikut:[17]

  1. kelakuan dan akibat;
  2. hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
  3. keadaan tambahan yang memberatkan pidana (unsur-unsur yang memberatkan pidana);
  4. unsur melawan hukum yang objektif (obyektief onrechtselement);
  5. unsur melawan hukum yang subjektif (subyektief onrechtselement).

Sedangkan menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:[18]

  1. Bersifat melawan hukum. Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana jika tidak bersifat melawan hukum (misalnya, sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).
  2. Dapat dicela. suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana jika tidak dapat dicela pelakunya.

 

C. Penyebab Kejahatan

Menurut Sutrisno dan Sulis bahwa penyebab kejahatan dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu bakat si penjahat, alam sekitarnya dan unsur kerohanian. Bakat seorang penjahat dapat dilihat menurut kejiwaan/kerohaniaan ada penjahat yang pada kejiwaannya lekas marah, jiwanya tidak berdaya menahan tekanan-tekanan luar, lemah jiwanya. Ada juga yang sejak lahirnya telah memperoleh cacat rohaniah.[19] Selain itu ada istilah kleptonia yaitu mereka yang acap kali menjadi orang yang sangat tamak, apa yang dilihat diinginkannya dan dicurinya.”[20]

Menurut faktor alam, penjahat dapat dilihat dari segi pendidikan dan pengajaran sehari-harinya, keburukan-keburukan dan ketidak-teraturan maupun kekacauan pendidikan pengajaran yang dialami.[21]Lingkungan keluarga dan masyarakat juga dapat memberikan dampak kejahatan, misalnya kemiskinan dan padatnya keluarga, kenakalan, serta kejahatan orang tua, perpecahan dalam keluarga, kurangnya perasaan aman karena ketegangan dalam rumah, ketidak-harmonisan dalam keluarga.[22]

Menurut Budianto bahwa salah  satu penyebab tingginya tingkah kejahatan di Indonesia adalah tingginya angka pengangguran, maka kejahatan akan semakin bertambah jika masalah pengangguran tidak segera diatasi. Sebenarnya masih banyak penyebab kejahatan yang terjadi di Indonesia, misalnya: kemiskinan yang meluas, kurangnya fasilitas pendidikan, bencana alam, urbanisasi dan industrialisasi, serta kondisi lingkungan yang memudahkan orang melakukan kejahatan.[23]

 

~~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~~

____________________________

[1] Yesmil anwar dan Adang, Kriminologi, (Bandung. PT Refika Aditama, 2012), hlm. 2.

[2] Moeljatno, Kriminologi, (Bandung: Bina Aksara, 1986), hlm. 3.

[3] Ibid., hlm. 4.

[4] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Repika Aditama, 2003), hlm. 1.

[5] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 2.

[6] Ninik Widiyanti dan Ylius Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 24.

[7] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: PT Aksara Baru, 1983), hlm. 13.

[8] Simanjuntak. B., dan Pasaribu I.L, Kriminologi, (Bandung: Tarsito, 1984),  hlm. 45.

[9] E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 255.

[10] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 88.

[11] Eddy O. S. Hiariej, Asas-asas Hukum Pidana, Bahan Kuliah S2 Reguler (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006).

[12] D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius dengan Editor Penerjemah J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 27.

[13] Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 61.

[14] E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 251.

[15] Moeljatno, op.cit., hlm. 54.

[16] W.M.E. Noach, Kriminologi Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.81.

[17] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 63.

[18] D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, op.cit., hlm. 27.

[19] Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.71.

[20] Tongat, Dasar-dasar Hukum Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, (Malang:. UMM Press, 2009), hlm. 105.

[21] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 182.

[22] Moeljatno, op.cit., 1993, hlm. 54.

[23] Muhammad Mustofa, Kriminologi: Kajian  Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum, (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), hlm. 47.