Jika orang tanya, “apa status pekerjaanmu sekarang, dik?”, maka jawabannya bisa melebar kemana-mana. Kenapa tidak, proses seleksi yang penulis ikuti tahun 2021 ada embel-embel Calon Hakim, namun menggunakan istilah lain yaitu Analis Perkara Peradilan.

Hakim-hakim angkatan 2017, 2010-2011, maupun 2002, semuanya sama. Saat proses awal rekrutmen, lowongan yang dibuka memang Cakim (Calon Hakim). Sehingga ketika diterima dan lolos, walaupun statusnya masih CPNS, tapi hati mereka sudah tenang. Status Cakim bagi mereka sudah pasti.

Nah, proses semacam itu tidak terjadi dalam seleksi tahun 2021. Lowongan yang disediakan oleh Mahkamah Agung diberi istilah “Analis Perkara Peradilan”. Namun Analis Perkara Peradilan (APP) tahun 2021 ini berbeda dengan seleksi APP tahun 2019. Teman-teman penulis yang lolos seleksi APP 2019 target dan jenjang kariernya diarahkan untuk masuk ke kepaniteraan, entah itu staff, kemudian bisa menjadi juru sita, atau seiring waktu bisa menjadi panitera pengganti, panitera muda, maupun panitera sebagai puncak kariernya.

Namun seleksi APP tahun 2021 yang penulis ikuti kemarin, arah kariernya bukan ke kepaniteraan, namun menjadi calon hakim. Hal ini dituangkan dalam pengumuman pembukaan seleksi APP 2021, dimana dibagian footnote-nya diberi keterangan, “APP tahun 2021 akan diprioritaskan untuk menjadi calon hakim, dan apabila tidak lolos pendidikan Cakim, akan tetap menjadi APP”.

Hal ini juga diatur secara tegas dalam Perma Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengadaan Hakim. Disana disebutkan bahwa penerimaan calon hakim diambil dari peserta yang lulus seleksi APP tahun 2021.

Aturan semacam ini menurut penulis ada plus minusnya. Plusnya, saat sudah lolos seleksi CPNS dan menjadi bagian dari APP, ketika nanti mengikuti Cakim dan ternyata tidak lolos pendidikan, maka status PNS nya tidak hilang. Jenjang kariernya masih bisa diubah ke kepaniteraan sama seperti APP tahun 2019. Hal ini berbeda dengan mekanisme Cakim 2017 misalnya. Saat ada orang yang tidak lolos pendidikan, maka secara otomatis status PNS nya pun hilang.

Namun tentu ada minusnya. Bagi banyak kawan APP tahun 2021, aturan semacam ini membuat bingung dan tidak memberikan kejelasan status. Proses untuk masuk Cakim juga  masih mengambang tidak tentu arah. Penempatan APP yang sekarang dilakukan  secara acak oleh  Mahkamah Agung, tidak didasarkan pada minat peserta untuk target pendidikan hakim kedepannya. Misalnya ada teman yang berniat untuk menjadi hakim di Pengadilan Negeri, tapi penempatan APP nya malah di Pengadilan Agama. Ada pula yang berminat untuk ke PTUN, tapi penempatannya malah di PN, dan yang lainnya.

Oleh karena itu, setiap orang di angkatan APP 2021 ini harus berbagi konsentrasi pikirannya. Saat dia ingin menjadi hakim di PN namun penempatan di  PA, maka selain dia harus mengikuti setiap seluk-beluk di PA, dia juga harus mempersiapkan diri dengan materi-materi di PN, manakala dalam beberapa bulan kedepan ada proses pembukaan Cakim.

Belum lagi dengan bayang-bayang disahkannya RUU Jabatan Hakim atau Perpres terkait mekanisme rekrutmen hakim. Jika  seandainya RUU Jabatan Hakim atau Perpres terkait mekanisme rekrutmen hakim ini disahkan ketika posisi APP 2021 belum direkrut menjadi Cakim, apakah status proses Cakim dalam Perma Nomor 1 Tahun 2021 masih akan berlaku atau disimpangi dengan asas hukum lex posteriori? Ini tentu akan memberikan rasa kecewa yang berat dikalangan rekan-rekan APP 2021, mungkin upaya perlawanan dari beberapa rekan akan dilakukan jika hal tersebut memang terjadi.

Namun lepas dari rumitnya proses seleksi hakim di tahun 2021-2022 ini, pertanyaan mendasar yang mungkin pembaca harapkan—utamanya yang memang tidak berada dalam lingkungan peradilan, adalah “mengapa rekrutmen hakim dalam setiap periode itu selalu ada drama?” Karena permasalahan rekrutmen hakim ini ternyata bukan hanya dialami oleh angkatan 2021-2022 saja, namun juga dialami oleh rekan-rekan angkatan 2017.

Jawabannya karena status hakim sebagai “pejabat negara” dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang belum memiliki tolak ukur yang utuh untuk diimplementasikan. Ketika hakim disebut sebagai “pejabat negara” dan ketika Mahkamah Agung membutuhkan tenaga hakim serta dibutuhkan adanya seleksi, maka BKN-Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara tidak menyanggupi, karena mereka hanya menyediakan seleksi ASN, bukan seleksi pejabat negara.

Lagi pula, sejauh ini, belum ada sejarahnya pejabat negara harus melalui serangkaian tes sebagaimana CPNS. Pejabat negara ya pejabat negara, biasanya lahir dari proses politik. Mereka tidak tunduk pada aturan kepegawaian. Dari pengalaman yang sudah ada, status pejabat negara itu bisa diperoleh dengan beberapa cara, yaitu:;

  1. Jalur pemilihan umum, seperti presiden dan anggota dewan;
  2. Jalur penunjukkan, seperti menteri yang ditunjuk oleh presiden;
  3. Jalur jenjang karier, seperti Ketua Mahkamah Agung dan Ketua BPK.

 

Namun disisi yang lain, Mahkamah Agung—sebagaimana berita yang berkembang sekarang ini, sangat membutuhkan banyak tenaga hakim. Disaat menunggu RUU Jabatan Hakim yang tak kunjung disahkan dan BKN-Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara tidak mau melayani proses seleksi pejabat negara, maka mau tidak mau Mahkamah Agung harus membuka opsi lain untuk mengakali kebuntuan ini.

Yang penulis lihat, proses seleksi APP 2021 adalah upaya dari Mahkamah Agung untuk mengakali kerumitan aturan seleksi hakim yang memang belum memiliki payung hukum yang pasti. Ketika yang dibuka APP 2021 dengan status CPNS, maka BKN-Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara mau melaksanakan alokasi yang dibutuhkan Mahkamah Agung untuk dilakukan seleksi CPNS pada umumnya. Namun ketika sudah jadi ASN, Mahkamah Agung akan mengambil alih seleksi Cakimnya. Kira-kira begitu maksud dan tujuan dari Mahkamah Agung yang sejauh ini penulis tangkap.

Dari persoalan seleksi hakim ini, titik pangkal persoalan intinya berada pada status hakim. Silang pendapat tentang status hakim inilah yang mengakibatkan pembahasan RUU Jabatan Hakim mandeg di DPR, karena banyak aspirasi baik dari hakim sendiri melalui IKAHI maupun akademisi yang memiliki pandangannya masing-masing, misalnya: jika tetap teguh hakim distatuskan sebagai pejabat negara, maka harus diberikan fasilitas penuh sebagaimana pejabat negara pada umumnya. Selain itu, proses seleksinya pun tidak boleh sama dengan proses seleksi ASN, termasuk masa kerja pejabat negara yang tidak mengenal istilah pensiun, namun sesuai periode waktu tertentu. Kepangkatan juga tidak dikenal dalam status pejabat negara.

Ada beberapa masukan tentang status hakim ini, diantaranya:

  1. Hakim bisa disebut sebagai pejabat negara, namun harus ditambahkan sebagai pejabat negara khusus atau pejabat negara tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan hakim dengan pejabat negara lainnya seperti presiden, menteri, maupun anggota parlemen. Adapun khusus untuk hakim agung dan hakim konstitusi bisa disebut sebagai pejabat negara.
  2. Hakim bisa distatuskan dengan nama pejabat yudisial atau pejabat peradilan. Istilah ini merupakan istilah baru sehingga tidak menabrak istilah lain yang sudah eksis. Aturan main dari pejabat yudisial atau pejabat peradilan ditentukan oleh pembuat UU.
  3. Hakim bisa distatuskan sebagai “hakim”, sebagaimana TNI-Polri yang nomenklaturnya mandiri tidak ikut dalam nomenklatur ASN. Jika demikian, maka akan ada kalimat “ASN, TNI-Polri, dan Hakim”.

 

Untuk masalah peristilahan status terhadap profesi hakim, kita tunggu saja bagaimana hasil akhir pembahasannya. Yang jelas sekarang, seleksi hakim masih menggunakan payung hukum Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Sampai tulisan ini dibuat, penulis mendengar kabar bahwa—sambil menunggu RUU Jabatan Hakim disahkan—proses rekrutmen hakim kedepan sedang dipersiapkan payung hukumnya menggunakan Peraturan Presiden (Perpres).

Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti, kedepan seleksi hakim akan murni dilaksanakan oleh Mahkamah Agung tanpa keterlibatan instansi lain seperti BKN. Untuk proses CPNS nya mungkin iya tetap menggunakan jalur BKN, tapi nanti setelah PNS, akan diseleksi kembali dengan aturan main di Mahkamah Agung.

Terakhir, ada hal menarik lain dari rangkaian proses seleksi hakim ini. Setidaknya sudah ada satu aturan terkait rekrutmen hakim hingga saat ini, yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengadaan Hakim, serta ada dua rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang dipersiapkan, yaitu Perpres untuk jangka pendek, dan RUU Jabatan Hakim untuk jangka panjang (karena sampai sekarang belum masuk RUU Prioritas). Dari ketiganya ada titik simpul yang sama, bahwa rekrutmen hakim kedepan tidak akan dilakukan pada fresh graduate. Penulis membaca, setidaknya dibutuhkan sekian tahun pengalaman kerja untuk menjadi hakim.

Di Perma Nomor 1 Tahun 2021, hakim direkrut dari APP yang pada kenyataannya telah bekerja hampir 2 tahun di bagian kepaniteraan. Pada rancangan Perpres, yang bisa mendaftar hakim harus memiliki minimal 2 tahun pengalaman kerja dibidang hukum. Dan pada RUU Jabatan Hakim yang terakhir penulis baca, dibutuhkan 5 tahun pengalaman kerja dibidang hukum untuk bisa mendaftar sebagai hakim.

Dari keseluruhan pembahasan ini, penulis menyimpulkan dua hal, yaitu:

  1. Rekrutmen hakim kedepan akan dilaksanakan langsung oleh Mahkamah Agung;
  2. Tidak akan ada lagi fresh graduate bisa mendaftar menjadi hakim, namun akan dibutuhkan pengalaman kerja minimal 2 tahun dalam bidang hukum.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~