Memahami Konsep Sifat Dua Puluh
Dalam madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah ada konsep sifat dua puluh yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya dua puluh saja, bukan sembilan puluh sembilan sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna?
Para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam menetapkan sifat dua puluh tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan oleh para ulama tentang latar belakang wajibnya mengetahui sifat dua puluh yang wajib bagi Allah, antara lain:
Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah keyakinan formal yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam dua puluh sifat. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi:
وَقَوْلُهُ : « إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
Sabda Nabi: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan Nama”, tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi J hanya bermaksud –wallahu a’lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk surga. (al-Hafizh al-Baihaqi, al-I’tiqad ‘ala al-Salaf Ahl al-sunnah wal jama’ah, hlm. 14).
Pernyataan al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah sembilan puluh sembilan didasarkan pada hadits shahih :
عن ابن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ…… أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِى وَنُورَ صَدْرِى وَجَلاَءَ حُزْنِى وَذَهَابَ هَمِّى.
Ibn Mas’ud berkata, Rasulullah bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu……. Aku memohon dengan perantara setiap nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan dzat-Mu dengannya, atau Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, dan Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahuinya secara ghaib, jadikanlah al-Qur’an sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku dan penghapus dukaku.” (HR. Ahmad, 3528, al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-shahihain, 1830 dan al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, 10198). Al-Hafizh Ibn Hibban menilianya shahih dalam Shahih-nya, 977).
Hadits di atas menjelaskan bahwa di antara nama-nama Allah SWT yang ada yang dijelaskan di dalam al-Qur’an, ada yang diketahui oleh sebagain hamba-Nya dan ada yang hanya diketahui oleh Allah SWT saja. Sehingga berdasarkan hadits tersebut, nama-nama Allah SWT itu sebenarnya tidak terbatas pada 99 dan apalagi 20.
Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan kedua, Shifat al-Af’al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu’thi, al-Mani’, al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah. Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa’ (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan Shifat al-Af’al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af’al, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan al-Mumit (Maha Mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan al-Nafi’ (Maha Memberi Manfaat), al-Mu’thi (Maha Pemberi) dan al-Mani’ (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu para ulama mengatakan bahwa Shifat al-Af’al itu baqa’ (tidak berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).
Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan pada keyakinan bahwa Allah memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, sunnah dan dalil ‘aqli.
Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti Mu’tazilah, Musyabbihah, Mujassimah, Karramiyah dan lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib mandiri). Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma’ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain.