BAB 1. PENDAHULUAN
- Kertasapoetra menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah dimana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa.[1] Sedangkan Imam Sudiyat mengatakan bahwa hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.[2]
Isu-isu tentang tanah memang menjadi permasalahan paling krusial di tanah Papua.[3] Selain hukum positif Indonesia, pelimpahan hak atas tanah juga didasarkan pada hukum adat Papua. Hal ini tentu dalam beberapa kasus, menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal dari 3 tujuan hukum dalam referensi-referensi ilmu hukum, dijelaskan bahwa salah satu tujuan hukum adalah kepastian hukum.[4] Kepastian hukum ini salah satunya menjawab hukum mana yang berlaku jika dalam suatu kasus diberlakukan 2 sistem hukum yang berbeda. Dalam kasus tanah ini, di Papua berlaku konsep hukum adat Papua, sekaligus hukum positif Indonesia. Hal ini tentu menjadi pertanyaan menarik, dari kedua sistem hukum yang berlainan tersebut, sistem hukum mana yang didahulukan.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, sampai sekarang ini menjadi perdebatan panjang mengenai pola pengakuan dan perlindungannya.[5] Hal demikian terjadi di seluruh masyarakat hukum adat nusantara termasuk diantaranya masyarakat hukum adat Malind Anim di kabupaten Merauke. Hal ini karena pola pikir (mind set) masyarakat adat berpendapat bahwa tanah-tanah yang ada di Papua merupakan tanah ulayat bukan tanah negara. Padahal jika dilihat dari Overeenkomst tanggal 28-07-1956 dan tanggal 27-09-1962; New York Agreement tanggal 07-09-1962; yang telah diratifikasi ke dalam UU RI No.7 Tahun 1996 tanggal 08-11-1966 maka tanah-tanah tersebut merupakan tanah negara.[6]
Contoh kasus terbaru mengenai hukum adat Papua yang masih belum mendapat perhatian serius adalah hasil investigasi BBC yang rilis Kamis tanggal 12 November 2020, terkuak bukti-bukti adanya pembukaan hutan untuk perluasan lahan kelapa sawit yang dilakukan Korindo dengan cara membakar sengaja dan konsisten. Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Boy Even Sembiring menanggapi terkuaknya bukti-bukti pembakaran hutan di Boven Digoel, Papua, untuk perluasan lahan kelapa sawit yang dilakukan perusahaan Korea Selatan, dengan menyebut bahwa Pernyataan Korindo yang menyebut tanah di Papua adalah tanah negara, sebuah kekeliruan besar.[7]
Hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat hukum adat sampai saat ini masih menjadi masalah yang krusial yang disebabkan oleh pemerintah tidak konsekuen dalam mengakui keberadaan hak-hak rakyat (Masyarakat Adat) terhadap pemilikan tanah.[8] Permasalahan penerapan hukum adat dan fungsionalisasi lembaga peradilan adat dalam kenyataannya kerap dibenturkan dengan hukum formal. Kenyataan ini berangkat dari realitas sejarah dimana dekade kolonialisme menyebabkan hukum Eropa mendominasi bentuk dari sistem hukum dibanyak negara di dunia[9]
Dewasa ini gerakan memperjuangkan hak asasi manusia terutama hak-hak masyarakat adat semakin menemukan bentuk dan wadahnya, misalnya di tingkat PBB terdapat adanya Working Group on Indigenous Populations, Working Group on the Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Permanent Forum on Indigenous Issues dan masih banyak yang lainnya.[10] Di Provinsi Papua permasalahan tanah adat ini sangat rumit terlebih ketika timbul konflik dan klaim atas tanah ulayat. Adanya tuntutan oleh masyarakat hukum adat memicu konflik yang luas, karena pada akhirnya memenangkan salah satu suku dari masyarakat hukum adat. Akibatnya, masyarakat adat yang lain juga ingin mendapatkan ganti rugi yang sama. Oleh karena itu suku yang lain pun melakukan klaim (tuntutan). Masyarakat hukum adat berpendapat bahwa dengan diakuinya eksistensi terhadap tanah adat, maka pihak lain bisa mendapatkan hak pakai atas tanah adat tersebut, apabila telah dilakukan pembayaran melalui pihak adat.
Pertarungan di dalam masyarakat adat mencakup isu-isu: identitas diri, pandangan hidup, hak-hak atas tanah, hutan atau sumberdaya alam (SDA), klaim atas wilayah/wilayah tradisional, dsb. Unifikasi konseptual tentang empat faktor dominan itu “rawan” sifatnya; yang memudahkan eksistensi dan peran serta tuntutan masyarakat adat menjadi termarginalisasi. Masyarakat adat sangat memegang teguh prinsip dan kepercayaan serta hukum-hukum yang dimilikinya. ia tidak mudah menerima pengaruh dari luar yang bersifat asing baginya. Kepercayaan-kepercayaan lama senantiasa dipegang dengan erat dan dipatuhi secara turun-temurun. Pola berpikir dan berbicara seadanya, kontan tanpa basi-basi dan menabukan sesuatu dengan kepercayaannya itu. Hal ini adalah bagian dari ciri yang merupakan karakter masyarakat adat yang penuh dengan ketertutupan.
Kurangnya eksistensi hukum adat Papua dalam sistem hukum nasional menimbulkan banyak masalah. Selain mengenai kepastian hukum, juga bermasalah dalam tujuan hukum yang lain, yaitu keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Kedudukan hukum adat Papua dalam sistem hukum pertanahan nasional perlu untuk dikaji lebih dalam, sehingga konflik tanah di Papua bisa dijembatani oleh dua sistem hukum yang berbeda namun dengan penuh kepastian, keadilan, dan bermanfaat bagi masyarakat.
BAB 2. SKENARIO GAGASAN
Skenario pembuatan gagasan futuristik konstruktif dalam suatu film pendek, akan dijelaskan sebagai berikut:
- Menggambarkan kasus-kasus konflik tanah di Papua yang dalam kerangka teori merupakan konflik hukum antara hukum adat Papua dan hukum positif Indonesia;
- Menjelaskan sudut pandang penyelesaian kasus konflik tanah berdasarkan hukum adat Papua;
- Menjelaskan sudut pandang penyelesaian kasus konflik tanah berdasarkan hukum positif Indonesia;
- Menguraikan kedudukan hukum adat Papua dalam sistem hukum pertanahan nasional;
- Memberikan saran dan kesimpulan.
BAB 3. TAHAP PELAKSANAAN
Adapun tahapan yang bisa dilakukan dalam pelaksanaan pengambilan video film mengenai isu-isu tanah di Papua, adalah sebagai berikut:
- Melakukan persiapan, dari mulai persiapan mahasiswa, persiapan perlengkapan termasuk penyediaan kamera, dan persiapan konsep pengambilan gambar;
- Menentukan lokasi pengambilan gambar dan video;
- Tahap pelaksanaan inti pengambilan gambar dan video;
- Pembuatan backsound video;
- Editing video dan penggabungan backsound ke dalam video.
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dirancang oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~~~
__________________
[1] G.Kertasapoetra, dkk, 1985, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta, PT Bina Aksara, hlm. 88.
[2] Imam Sudiyat, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty, hlm.1.
[3] Catatan dari Papua Konflik Agraria Belum Usai, Bag-Bagi Hutan Kepada Pemodal Jalan Terus. https://www.mongabay.co.id/2018/01/01/catatan-dari-papua-konflik-agraria-belum-usai-bagi-bagi-hutan-kepada-pemodal-jalan-terus/. Diakses tanggal 17 Maret 2021.
[4] Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm. 81.
[5] Jasardi Gunawan, 2018, “Implementasi Permendagri No. 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”, Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 6, No. 1, hlm.157.
[6] Ningrum Ambarsari, 2017, “Urgensi Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Bagi Investor di Kota Jayapura”, Al Adl: Jurnal Hukum, Vol. 8, No. 3, hlm.97.
[7] Walhi: Ganti Rugi Rp. 100000 untuk Tanah Adat Papua Tak Masuk Akal. https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/16130451/walhi-ganti-rugi-rp-100000-per-hektar-untuk-tanah-adat-papua-tak-masuk-akal?page=all. Diaksees tanggal 17 Maret 2021.
[8] Ritta Yoalili, 2015, “Implementasi Politik Hukum Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua Dalam Hukum Tanah Nasional”, Repertorium, Vol. 3, hlm.153.
[9] Eva Achjani Zulfa, 2010, “Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia”, Indonesian Journal of Criminology, Vol. 6, No. 2, hlm.183.
[10] Diah Pawestri Maharani, 2016, “Pembatasan Hak Menguasai Negara oleh Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Air”, Arena Hukum, Vol. 9, No. 1, hlm.39.