Judul Lengkap : Kepuasan Masyarakat Kabupaten Sorong dalam Menikmati Dana Otonomi Khusus di Tengah Pro-Kontra Kelanjutan UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
BAB 1. PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sudah lebih dari 40 tahun, Provinsi Papua diserahkan dari Pemerintah Belanda melalui UNTEA (United Nations Temporary Executives Authority) kepada Pemerintahan Republik Indonesia; tetapi rakyat Papua belum pernah merasakan sebagai warga yang bebas dari penderitaan.[1] Segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebenarnya tidak saja dilakukan oleh pemerintah pusat yang ada di Jakarta tetapi juga pemerintahan daerah yang semakin turut memperburuk keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Papua melalui sikap dan prilaku yang sangat melukai batin masyarakat Papua yaitu Korupsi.[2]
Permasalahan di internal Papua sudah sedemikian pelik, mulai dari masalah Sumber Daya Alam (SDA) yang belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan masyarakat asli Papua, juga masalah Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk kurangnya kualitas pendidikan. Selain itu, isu-isu mengenai ekonomi masyarakat Papua yang tertinggal dari para pendatang juga menjadi persoalan tersendiri, yang karenanya sering memicu suatu konflik horizontal. Belum lagi pelurusan sejarah mengenai hubungan antara Papua dan Republik Indonesia masih dalam teka-teki yang belum menemukan titik temu.
Sekian banyak persoalan menyangkut Papua tersebut, membuat pemerintah pusat Republik Indonesia membuat suatu dasar hukum yang menjadikan Papua sebagai wilayah otonomi khusus. Hal tersebut diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 jo UU No. 35 Tahun 2008. Pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Otsus Papua) adalah sebuah hasil kompromi politik antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik multidimensi yang berkepanjangan sejak tahun 1962. Melalui kompromi politik tersebut pemerintah bersedia melakukan koreksi untuk tidak mengulang lagi berbagai kebijakan dan bentuk pendekatan pembangunan dimasa lalu yang umumnya tidak berpihak kepada orang Papua, dan berimplikasi pada keterpinggiran dan ketertinggalan orang Papua di segala bidang pembangunan, sehinga berakumulasi pada menguatnya keinginnan/aspirasi untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]
Dari peraturan perundang-undangan mengenai otonomi khusus Papua, dijelaskan bahwa batas akhir otonomi khusus akan beerakhir pada tahun 2021. Pro dan kontra tentang perpanjangan otonomi khusus bagi Papua mulai santer terdengar dikalangan banyak pihak. Sebagian masih menyetujui perpanjangan otonomi khusus bagi Papua, namun sebagian pihak lainnya menolak karena besarnya anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat kepada Papua, masih belum sanggup memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
Dari tiga wilayah otonomi khusus di Indonesia (yaitu Papua, Aceh, dan Yogyakarta), Papua adalah wilayah otonomi khusus dengan alokasi anggaran paling besar dari pemerintah pusat. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c UU APBN 2021, direncanakan sebesar Rp 21.302.919.182.000.[4]
Dana Rp. 21 triliun itu disebar untuk:[5]
- Alokasi Dana Otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rp 7,8 triliun. Yaitu Papua mendapatkan Rp 5,4 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 2,3 triliun.
- Papua juga mendapatkan data tambahan infrastruktur sebesar Rp 4,3 triliun. Dibagi ke Papua sebesar Rp 2,6 triliun dan Papua Barat Rp 1,7 triliun.
- Alokasi Dana Otsus Aceh sebesar Rp 7,8 triliun.
- Dana Keistimewaan DIY sebesar Rp 1,3 triliun.
Namun sayangnya, besarnya dana yang dialokasikan pemerintah pusat untuk Papua belum sebanding dengan hasil nyata dari pembangunan dan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat Papua. Hal inilah yang menjadi alasan utama, mengapa terjadi pro dan kontra terhadap perpanjangan otonomi khusus bagi Papua di tahun 2021. Oleh karena itu, pengusul dalam hal ini akan melakukan riset mengenai pendapat masyarakat Papua mengenai hasil dari dana otonomi khusus yang dirasakan langsung oleh masyarakat Papua. Cakupan masyarakat yang akan diteliti pengusul batasi hanya dalam lingkup masyarakat Kabupaten Sorong, Papua Barat.
- Tujuan Riset
Riset ini bertujuan untuk mengetahui pendapat-pendapat masyarakat di Kabupaten Sorong mengenai kepuasan penggunaan dana otonomi khusus bagi Papua. Ditengah pro dan kontra yang ada mengenai perpanjangan otonomi khusus bagi Papua, riset ini dibutuhkan untuk menjawab kehendak asli dari masyarakat Papua. Perpanjangan dan pembuatan undang-undang mengenai otonomi khusus Papua seringkali hanya bersifat politis dan elitis semata, tidak mencerminkan pendapat asli masyarakat Papua. Oleh karena itu, sebelum memperpanjang atau tidak memperpanjang otonomi khusus bagi Papua, penting dilakukan riset mengeenai kepuasan masyarakat mengenai dana otonomi khusus pada periode otonomi khusus sebelumnya.
- Manfaat Riset
Riset ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pemangku kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah di Papua. Selain itu, diharapkan bisa bermanfaat juga bagi para akademisi dan masyarakat luas, utamanya bagi para tetua adat di kawasan Papua. Upaya riset ini akan memberikan kesimpulan mengenai kehendak yang diinginkan masyarakat Papua—dalam hal ini terbatas pada masyarakat Kabupaten Sorong—mengenai kelanjutan otonomi khusus bagi Papua.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya dikenal istilah daerah khusus dan daerah istimewa.[6] Pada masa lalu, daerah khusus adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah lain karena kedudukannya, sedangkan daerah istimewa adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan berbeda karena perbedaan atau keistimewaan berupa susunan asli masyarakat.[7]
Otonomi khusus secara resmi menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan negara melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah satu bagian dari pembalikan politik penyelenggaraan negara yang semula bersifat sentralistis dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman. Hal ini selaras dengan demokratisasi yang menjadi arus utama reformasi. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan menghendaki adanya desentralisasi dan penghormatan terhadap keberagaman daerah.[8]
Hal yang bisa menjadi perbandingan adalah pelaksanaan otonomi khusus di wilayah Aceh. Aceh dapat dikatakan telah berhasil, namun tidak demikian halnya dengan Papua. Aceh telah mampu meminimalisir konflik dan kekerasan bersenjata dan menjalankan roda pemerintahan daerah dengan baik, walaupun masih terdapat riak-riak kecil kekerasan. Hal ini berbeda dengan Papua yang masih dirundung konflik bersenjata dan kerap terjadi kekerasan.[9]
Penelitian mengenai tingkat kepuasan masyarakat Papua mengenai otonomi khusus dalam hal keberhasilan menyelesaikan konflik, telah dilakukan pada tahun 2008.[10] Dalam kajian riset ini hanya akan fokus pada tingkat kepuasan masyarakat Kabupaten Sorong dalam menikmati dana otonomi khusus yang sangat besar dari peemerintah pusat. Dana otonomi khusus yang seharusnya dapat dinikmati dan dirasakan masyarakat Papua—utamanya masyarakat Kabupaten Sorong sebagai sampel—akan diuji dengan pendekatan survei.
BAB 3. METODE PENELITIAN
Dalam riset ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian survei. Metode penelitian survei digunakan untuk memperoleh atau mengumpulkan data informasi tentang poplasi yang besar dengan menggunakan sampel yang relatif lebih kecil. Penelitian survei digunakan untuk memecahkan masalah-masalah isu skala besar yang aktual dengan populasi sangat besar, sehingga diperlukan sampel ukuran besar. Oleh karena itu, pelibatan banyak pihak di Kabupaten Sorong sebagai sampel survei akan cukup besar dan dilaksanakan dalam kurun waktu yang relatif cukup lama.
Selama pandemi Covid-19, pelaksanaan metode penelitian survei juga sebagian menggunakan metode daring (online). Namun, sebagian lainnya masih harus tetap menggunakan metode luring (offline) untuk mendapatkan pendekatan hasil yang lebih baik. Dalam pelaksanaan metode luring, tetap mengikuti protokol kesehatan sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
___________________
[1] Azmi Muttaqin, Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua. http://journal.undip.ac.id. Diakses tanggal 17 Maret 2021.
[2] Ibid.
[3] Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Peluang, Tantangan, dan Harapan. https://polkam.go.id/otonomi-khusus-provinsi-papua-dan-provinsi-papua-barat-peluang-tantangan-dan-harapan/. Diakses tanggal 17 Maret 2021.
[4]Dana Otsus ABNI 2021 Papua Rp. 12 T, Aceh Rp. 7 T, Jogja Berapa. https://news.detik.com/berita/d-5243894/dana-otsus-apbn-2021-papua-rp-12-t-aceh-rp-7-t-jogja-berapa. Diakses tanggal 17 Maret 2021.
[5] Ibid.
[6] Pasal 18 UUD 1945 sebelum Perubahan menyatakan “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
[7]Problem Otonomi Khusus Papua. http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/PROBLEM-OTONOMI-KHUSUS-PAPUA.pdf. Diakses tanggal 17 Maret 2021.
[8] Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
[9] Problem Otonomi Khusus Papua. http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/PROBLEM-OTONOMI-KHUSUS-PAPUA.pdf. Diakses tanggal 17 Maret 2021.
[10] Ibid.