Fenomena Arab Spring[1] telah menarik banyak perhatian dunia. Krisis politik yang bergulir di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara secara langsung telah menuntut keterlibatan pihak internasional baik dalam konteks negara maupun organisasi internasional. Berawal dari aksi protes dan unjuk rasa di Tunisia menimbulkan efek domino yang kuat dengan aksi protes yang terjadi di Mesir, Libya hingga saat ini di Suriah.[2] Secara garis besar aksi protes di sejumlah negara Arab mempunyai pola dan motivasi yang sama. Masyarakat yang tergabung dalam aksi protes menginginkan demokratisasi dalam pemerintahan yang dianggap otoriter, korup dan tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Mobilisasi masyarakat dari berbagai kelas sosial secara langsung telah memberikan legitimasi sosial yang hilang dari rezim berkuasa yang dianggap represif. Aksi protes ini kemudian semakin menjadi perhatian internasional ketika dalam waktu cepat bergulir di beberapa negara Arab dan pada akhirnya mampu menggulingkan pemerintahan yang berkuasa.[3]

Awal mula protes terjadi di Tunisia pada akhir Desember 2010 ketika salah seorang pedagang buah melakukan aksi bakar diri yang kemudian diikuti unjuk rasa massa.[4] Poin utama tuntutan tersebut terkait tindakan brutal penegak keamanan dan korupsi akut yang melanda pemerintahan Tunisia. Beberapa minggu setelah unjuk rasa dilakukan, Presiden Zine al-Abidine Ben Ali melarikan diri keluar dari Tunisia. Demonstran menganggap ini sebuah kemenangan dengan berhasil menurunkan Ben Ali dari jabatannya sebagai presiden Tunisia yang kemudian mengangkat mantan perdana menteri Mohhammed Gannouchi sebagai pengendali pemerintahan hingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan.[5]

Keberhasilan pelengseran rezim penguasa di Tunisia menjadi momentum dimulainya perguliran krisis politik di negara-negara tetangganya di Timur Tengah. Tunisia telah membangkitkan semangat masyarakat di negara lain yang mengharapkan hal yang sama. Di Yordania, 5000 orang turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang menaikkan harga minyak dan pajak. Dalam kurun waktu yang sama 42 orang di Algeria terluka saat melakukan aksi protes menentang rezim pemerintah.[6] Sama halnya dengan di Tunisia aksi protes mendapat hasil positif. Raja Abdullah di Yordania dan Presiden Algeria Abdalaziz Bouteflika berhasil ditekan untuk membentuk kabinet baru.[7]

Gelombang protes yang sangat besar selanjutnya terjadi di Mesir. Pada tanggal 25 Januari 2011 yang dikenal dengan ‘the day of rage’, berpusat di lapangan Tahrir, Kairo, ribuan massa berunjuk rasa sebagai aksi protes terhadap kebijakan pemerintahan Hosni Mubarak.[8] Mereka menuntut adanya demokrasi dan transparansi dalam pemerintahan serta diturunkannya Mubarak dari kursi kepresidenan yang telah berkuasa sejak tahun 1981. Pemberontakan yang berawal dari perkumpulan di media sosial ini berhasil mengumpulkan massa puluhan ribu yang mendirikan kemah di lapangan Tahrir. Dalam banyak sumber disebutkan bahwa demonstran yang menuntut demokratisasi ini terkait dengan jaringan internasional Muslim Brotherhood atau Ikhwanul Muslimin.[9]

Tindakan Mubarak yang mengerahkan pasukan militer untuk menghadapi demonstran mendapat kecaman dari dunia internasional. Pada 11 Februari 2011 Hosni Mubarak mengumumkan melepaskaskan jabatan sebagai presiden Mesir sekaligus sebagai pemegang kendali kekuatan militer Mesir. Mubarak harus pula menjalani proses pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kepada rakyat Mesir. Pengunduran diri Mubarak ini dirayakan secara besar-besaran oleh masyarakat Mesir yang juga mendapat respon positif dari sejumlah negara.[10]

Tidak berhenti hanya di Mesir, aksi protes bergulir ke Yaman pada 27 Januari 2011. 16.000 demonstran di Yaman menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh. Selanjutnya protes juga terjadi di Bahrain yang menuntut tingginya tingkat korupsi, pengangguran dan sistem monarki yang masih dipertahankan di Bahrain. Satu bulan setelahnya tuntutan untuk mengamandemen konstitusi dan pemberantasan korupsi terjadi di Maroko. Pada dasarnya demonstran tidak menginginkan untuk menghapuskan sistem monarki hanya saja mereka menginginkan demokrasi yang lebih berimbang. Karena berakhir dengan kericuhan lima orang menjadi korban di Rabat.[11]

Hingga saat ini proses rekonsiliasi dan perbaikan sistem politik terjadi di negara-negara pacsa reformasi. Mesir dan Tunisia merupakan dua negara yang saat ini masih berada dalam proses pembenahan setelah transisi pemerintahan. Tunisia telah berhasil menyelenggarakan Constituent Assembly Election pada 23 Oktober 2011. Pemilihan ini memberikan suara bagi Ennahda Party sebesar 37%. Sementara itu, Mesir telah mengadakan pemilihan umum dan membentuk sistem pemeritahan baru. Pemilihan umum berhasil dimenangkan oleh Mohammed Mursi dengan perolehan 51,73% suara.[12]

Keberhasilan aksi protes, terutama di Tunisia dan Mesir, semakin menjadi trigger aksi protes di beberapa negara Arab lainnya. Krisis politik di negara Arab menjadi semakin rumit ketika di Libya dan Suriah juga terjadi protes besar-besaran yang menuntut turunnya pemerintahan yang berkuasa. Di Suriah masih berlangsung ketegangan antara pihak oposisi dengan rezim Bashar Al-Assad. Sementara di Libya, aksi protes secara masif juga dilakukan untuk menjatuhkan rezim Moammar Qaddafi. Konflik yang semakin meluas ini pada akhirnya mengundang reaksi internasional untuk melakukan intervensi.[13]

Bergulirnya arus protes dan tuntutan demokratisasi ini tidak hanya mengubah peta kekuasaan pada negara-negara di atas, namun juga membawa sebuah wajah baru atas identitas negara-negara Arab yang selama ini masih bertahan dengan model aristokrat otoritariannya. Dalam kasus Libya, turunnya rezim Qaddafi membawa dampak besar karena sudah melibatkan masyarakat internasional dalam penanganan konflik intra-state yang terjadi di Libya.[14]

Krisis terbaru dan yang masih berlangsung kini adalah krisis politik di Suriah. Gejolak  yang  diakibatkan  oleh  konflik  Suriah  mengancam  stabilitas  politik  di kawasan. Kondisi geopolitik yang berubah dapat dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan.  Sebagai  peluang,  negara-negara  “Arab  Spring”,  terutama  Suriah,  dapat dijadikan arena persaingan pengaruh  oleh  negara-negara kuat  di Timur Tengah.  Turki tidak  ingin  melewatkan  perubahan  status  quo  ini  sebagai  kesempatan  ini  untuk semakin  menanamkan pengaruhnya di kawasan.  Sebagai tantangan sudah jelas bahwa perubahan dan persaingan yang ada akan memunculkan konflik kepentingan di antara aktor-aktor di kawasan. Hal ini bisa menjadi ganjalan serius bagi Turki dalam menjaga hubungan dengan negara-negara yang berseberangan.[15] Persaingan  yang  diprediksi  terjadi  adalah  persaingan  klasik  antara  Arab  Saudi dan  Iran  yang  melibatkan  dikotomi  Sunni-Syiah.  Konflik  Suriah  memang  terjadi  di antara  oposisi  yang  mayoritas  Sunni  melawan  rezim  Assad  yang  merupakan  sekte Syiah Alawiyah.[16]

Sebagai  negara  Sunni,  sangat  masuk  akal  apabila  Turki  berpihak pada kekuatan Sunni lain. Namun, hubungan baik dengan Iran membuat Turki harus memperhitungkan dengan cermat reaksi yang akan diambil. Posisi  Turki  selalu  sulit  dalam  pertarungan  kepentingan  di  kawasan.  Hal  ini disebabkan  oleh  doktrin  “zero  problem  with  neighbors”  yang  diterapkan  Turki. Doktrin  ini  membuat  Turki  selalu  berupaya  menjaga  hubungan  baik  dengan  negara-negara  di  sekitarnya.  Doktrin  ini  juga  sesuai  dengan  karakter  Turki  sebagai  negara  kekuatan  menengah  (middle  power)  yang  mengutamakan  pendekatan  bersahabat melalui diplomasi berbasis soft power. Segala perbedaan kepentingan, persaingan pengaruh dan ketegangan geopolitik akan  merusak  stabilitas  politik  di  Timur  Tengah.  Instabilitas  sangat  dihindari  Turki karena  mengancam  (jeopardize)  tujuan-tujuan  luar  negerinya  yang  dibangun  atas fondasi diplomasi soft power.  Instabilitas jelas berpotensi mengusik ambisi Turki di Timur Tengah yang berbasis kerjasama ekonomi dan perdagangan.[17]

 

~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~

__________________

[1] Arab Spring yang pada kenyataannya terjadi pada pertengahan musim dingin telah menjadi frase yang digunakan untuk menggambarkan pergolakan politik di beberapa negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

[2] Atika Puspita Marzaman, op.cit., hlm. 27.

[3] Ibid.

[4] Witnesses Report Rioting in Tunisian Town, http://www.reuters.com, akses pada 19 Februari 2017, pukul 19:19.

[5] Zine al-Abidine Ben Ali forced to flee Tunisia as protesters claim victory, http://www.guardian.co.uk, akses pada 19 Februari 2017, pukul 19:19.

[6] Timeline Arab Spring, A brief summary of key events up until December 23, 2011, http://www.pcr.uu.se, akses pada 19 Februari 2017, pukul 19:20.

[7] Atika Puspita Marzaman, op.cit., hlm. 28.

[8] Timeline Arab Spring, A brief summary of key events up until December 23, 2011, http://www.pcr.uu.se, akses pada 19 Februari 2017, pukul 19:20.

[9] Atika Puspita Marzaman, op.cit., hlm. 29.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Muslim Brotherhood’s Mursi declared Egypt President, http://www.bbc.co.uk, akses pada 19 Februari 2017, pukul 19:22.

[13] Atika Puspita Marzaman, op.cit., hlm. 30.

[14] Ibid., hlm.31

[15] Lilik Prasaja, Reaksi Turki terhadap Konflik Suriah, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada), hlm. 10.

[16] Calleya S., M. Wohlfeld (ed), Change and Opportunities in the Emerging Mediterranean, (Malta, University of Malta, 2012), hlm. 370-371.

[17] Lilik Prasaja, op.cit., hlm. 11.